TANAH BENGKOK DI DESA SETU PATOK BERALIH MENJADI MILIK PERSEORANGAN, SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB?

CIREBON | Cyberpolri.id — Polemik seputar penjualan tanah bengkok milik Desa Setu Patok, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, kian memanas. Status lahan yang semula merupakan tanah bengkok milik desa kini beralih menjadi milik perseorangan. Persoalan ini menjadi sorotan publik karena menyangkut dugaan pelanggaran administratif dan hukum atas aset negara.

Kasus bermula saat seorang pembeli mengklaim kepemilikan sah atas tanah bengkok seluas kurang lebih 3 hektare di Blok Bulak Patok, Desa Banjarwangunan, berdasarkan transaksi dengan pihak yang mengaku sebagai ahli waris R. Kasan Jayadiningrat. Transaksi tersebut disebut terjadi pada tahun 1994, dan diperkuat dengan terbitnya SK Bupati Cirebon tahun 1996 yang mengembalikan hak atas tanah kepada ahli waris. Namun, keabsahan SK tersebut kini dipertanyakan.

Kronologi dan Sengkarut Dokumen

Merujuk pada dokumen resmi, tanah tersebut sebelumnya diberikan sebagai tanah bengkok kepada Pemerintah Desa Setu Patok berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Suwendo tahun 1990. Namun, pada tahun 1996, SK tersebut diduga dicabut dan diganti dengan SK baru oleh Bupati Rahmat J., yang mengembalikan tanah kepada ahli waris R. Kasan Jayadiningrat.

Ketika ditelusuri oleh pihak Desa Setu Patok, pihak Kecamatan Mundu menyatakan bahwa tidak pernah ada arsip atau dokumen resmi mengenai transaksi jual beli tanah bengkok tersebut dari tahun 1994 hingga 2025. Bahkan, salah satu camat menyatakan bahwa SK tahun 1996 tersebut diduga palsu.

Lebih lanjut, pihak ahli waris menyatakan tidak pernah melakukan penjualan atas tanah tersebut. Keraton Kanoman pun menegaskan bahwa mereka tidak pernah memberikan izin kepada R. Kasan Jayadiningrat untuk menjual tanah bengkok. Bupati Cirebon saat ini, H. Imron Rosadi, juga menyatakan bahwa arsip Pemkab hanya memiliki SK tahun 1990, sedangkan SK tahun 1996 tidak tercatat.

Meski demikian, Mahkamah Agung RI melalui putusannya justru memenangkan pihak pembeli. Hal ini menimbulkan tanda tanya besar, sebab berdasarkan kronologi dan dokumen yang tersedia, tanah tersebut jelas tercatat sebagai milik Desa Setu Patok.

Tanah Bengkok adalah Aset Negara

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 67 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 76 ayat (1) menegaskan bahwa:

"Aset desa berupa tanah bengkok tidak dapat dialihkan kepemilikannya tanpa izin dari bupati/wali kota."

Sementara itu, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 sebagai turunan dari UU Desa, Pasal 111 ayat (1), menyatakan:

"Tanah bengkok dapat digunakan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan desa dan tidak dapat dialihkan atau dijual tanpa izin bupati/wali kota."

Dengan demikian, jika benar telah terjadi penjualan tanah bengkok tanpa izin resmi dari Bupati Cirebon, maka tindakan tersebut melanggar ketentuan perundang-undangan dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Pertanyaan utama dalam kasus ini adalah: siapa yang harus bertanggung jawab? Beberapa pihak yang diduga terlibat atau lalai dalam pengawasan antara lain:

Perangkat Desa yang mungkin terlibat dalam penjualan tanpa izin resmi;

Pemerintah Desa Setu Patok yang dinilai kurang ketat dalam menjaga dan mengawasi aset desa

Camat atau jajaran Pemerintah Kecamatan Mundu yang tidak mencatat atau mengawasi peralihan aset tersebut;

Bupati atau Pemerintah Kabupaten Cirebon, terutama pada masa berlakunya SK tahun 1996, yang hingga kini keberadaannya pun dipertanyakan.

Jika proses sertifikasi atas tanah bengkok tersebut menjadi milik perseorangan dilakukan tanpa dasar hukum yang sah, maka sertifikat tersebut pun patut untuk dibatalkan. Kasus ini bisa menjadi pintu masuk penyelidikan lebih dalam, termasuk oleh aparat penegak hukum dan Kementerian ATR/BPN, untuk mengungkap dugaan mafia tanah.

Negara Dirugikan Miliaran Rupiah

Tanah bengkok adalah milik negara yang diperuntukkan sebagai imbalan kerja perangkat desa. Jika benar lahan seluas 3 hektare tersebut berpindah tangan secara tidak sah, maka kerugian negara diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Apalagi, jika putusan hukum tetap justru mengabaikan bukti historis dan administratif yang kuat.

Pemerintah Pusat Harus Turun Tangan

Mengingat kasus ini telah berlangsung puluhan tahun tanpa penyelesaian yang tuntas dan berkeadilan, maka sudah selayaknya pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR/BPN, dan lembaga pengawasan lainnya turun tangan untuk mengusut tuntas peralihan tanah bengkok tersebut.

Keadilan atas aset desa tidak hanya menyangkut legalitas, tetapi juga menyangkut moralitas dan tanggung jawab negara terhadap hak-hak masyarakat desa. Jangan sampai negara diam, sementara tanah milik desa hilang begitu saja dalam pusaran sengketa yang sarat kepentingan


Tim

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama