CIREBON | Cyberpolri.id – Aroma busuk mafia tanah kembali tercium menyengat, kali ini dari kawasan Setu Patok, Desa Mundu, Kabupaten Cirebon. Investigasi Cyberpolri.id menguak dugaan serius bahwa seorang pengusaha berinisial H. Cholil telah menyerobot tanah adat dan tanah negara untuk kepentingan pribadi. Yang lebih menyakitkan: di atas tanah itu kini menjulang bangunan-bangunan mewah – villa, tempat wisata, hingga fasilitas komersial – bak monumen ketidakadilan yang berdiri di atas hak rakyat.
Menurut catatan sejarah dan kesaksian warga, lahan tersebut semula merupakan tanah adat dan tanah negara yang memiliki nilai sakral dan historis bagi masyarakat Setu Patok. Namun secara misterius, lahan itu kini berpindah tangan, diduga tanpa proses hukum yang sah dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat sebagai pemilik moral dan historis kawasan tersebut.
“Kami tidak tahu bagaimana tanah leluhur kami bisa berubah jadi milik pribadi. Yang jelas, kami tak pernah menjualnya. Tapi sekarang sudah dikelilingi tembok dan dijaga ketat,” ujar seorang tokoh adat Setu Patok dengan nada getir.
APH Diduga Main Mata: Hukum Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas?
Lebih menggemparkan dari dugaan penyerobotan itu sendiri adalah bungkamnya aparat penegak hukum (APH). Sudah bertahun-tahun persoalan ini bergulir, namun tak ada tindakan berarti dari pihak kepolisian, kejaksaan, atau BPN setempat. Masyarakat pun menduga kuat adanya permainan kotor antara oknum penguasa dan pengusaha.
“Ada yang bermain di balik layar. Ini bukan sekadar pembiaran, tapi diduga ada pelindung kuat di balik H. Cholil,” tegas anggota tim investigasi Cyberpolri.id
Pertanyaan pun menggelinding di tengah masyarakat: Apakah hukum di negeri ini hanya berlaku untuk rakyat kecil? Mengapa aparat hukum begitu cepat bertindak saat rakyat miskin membangun gubuk di tanah kosong, tapi bungkam saat pengusaha membangun istana di atas tanah negara?
Jejak Mafia Tanah?
Dokumen yang dihimpun tim investigasi menunjukkan adanya indikasi praktik mafia tanah yang melibatkan peralihan hak secara tidak sah, penerbitan surat-surat ilegal, hingga manipulasi dokumen kepemilikan. Beberapa warga bahkan mengaku ditekan untuk "merelakan" tanahnya, atau menghadapi intimidasi halus dari pihak tak dikenal.
Team investigasi media cybertni.id menyebut kasus ini sebagai ujian serius bagi integritas hukum agraria di Indonesia.
“Jika negara tunduk pada mafia tanah, maka bukan hanya tanah rakyat yang dirampas, tetapi juga wibawa hukum dan rasa keadilan kita sebagai bangsa,” ujar salah satu team investigasi media cyberpolri.id
Desakan Publik: Negara Harus Hadir, Bukan Mangkir
Masyarakat Setu Patok kini menuntut keadilan. Mereka meminta Kementerian ATR/BPN, Komnas HAM, dan Komisi III DPR RI untuk segera turun tangan, membuka kembali peta konflik agraria di Setu Patok, dan menindak siapa pun yang terlibat, termasuk jika ada oknum pejabat atau penegak hukum yang bermain api.
Jika tidak, kasus ini akan menjadi preseden berbahaya: bahwa siapa pun bisa mencaplok tanah rakyat selama ia punya uang dan koneksi.
Penutup: Seruan Melawan Ketidakadilan
Cyberpolri.id menyatakan komitmen penuh untuk mengawal kasus ini hingga terang-benderang di mata hukum dan publik. Negara tidak boleh absen saat hak rakyat diinjak. Penegakan hukum harus membela keadilan, bukan menjadi alat kekuasaan untuk melindungi yang punya kuasa.
“Bangunan megah di Setu Patok bukan lambang kemajuan, tapi simbol pengkhianatan terhadap tanah rakyat.”
Red_team

