YOGYAKARTA | Cyberpolri.id - Operasi Penembakan Misterius (Petrus) Era Orde Baru Tahun 1982–1985
Ketika Negara Memilih Tangan Besi Demi Stabilitas
Kota-Kota yang Dikuasai Preman
Awal dekade 1980-an, Indonesia tengah berada dalam bayang-bayang kekuasaan Orde Baru. Di atas kertas, kondisi politik terlihat stabil: partai politik dipersempit, media dikontrol, dan pembangunan ekonomi berjalan. Namun, di lapangan, kehidupan masyarakat urban justru diwarnai keresahan baru: premanisme dan kriminalitas jalanan meningkat drastis.
Selasa (10/9/2025)
Kelompok preman yang populer disebut “gali” (gabungan anak liar) kerap menguasai terminal, pasar, stasiun, hingga jalanan. Mereka memalak pedagang, menguasai parkir liar, terlibat perjudian, hingga tindak kekerasan. Identitas mereka hampir selalu sama: bertato, berkelompok, dan hidup dari tindak kriminal.
Di mata masyarakat, para gali ini bukan hanya perusuh, tetapi juga simbol kegagalan aparat hukum. Polisi dianggap tidak mampu menertibkan mereka, sementara sistem pengadilan dinilai terlalu lambat memberi efek jera.
Negara Menjawab, Jalan Pintas dengan Senjata
Dalam kondisi itulah, rezim Soeharto menilai perlu ada tindakan keras. Stabilitas, kata kunci utama Orde Baru tidak boleh diganggu. Premanisme dianggap bukan hanya soal kriminal, tetapi juga berpotensi mengganggu citra politik dan keamanan nasional.
Lahirlah kebijakan yang tidak diumumkan secara resmi namun sangat nyata, Operasi Penembakan Misterius (Petrus).
Operasi ini digerakkan oleh aparat militer melalui jaringan Kodam dan Kodim.
Targetnya, preman-preman bertato, pemimpin kelompok kriminal, hingga orang-orang yang dicurigai meresahkan.
Caranya, penangkapan malam hari, eksekusi di luar hukum, lalu mayat ditinggalkan di ruang publik.
Sebuah metode psikologis sekaligus represif, bukan hanya menyingkirkan preman, tapi juga menanamkan rasa takut ke seluruh masyarakat.
Rantai Eksekusi, Dari Penangkapan ke Mayat Tak Bernama
Langkah-langkah yang berulang terlihat jelas :
1. Identifikasi – Daftar nama dikumpulkan berdasarkan laporan intelijen, aparat lokal, hingga informasi masyarakat.
2. Penangkapan – Biasanya malam hari. Korban dibawa diam-diam tanpa surat resmi.
3. Interogasi singkat – Sebagian mengalami penyiksaan untuk informasi jaringan.
4. Eksekusi – Ditembak di kepala atau dada.
5. Pesan visual – Mayat ditemukan di pinggir jalan, sungai, atau kebun, seringkali dengan tangan terikat dan mulut disumpal.
Ada pula mayat yang sengaja dibiarkan tergeletak berjam-jam di tempat ramai, sebagai “papan pengumuman hidup” bahwa negara sedang bekerja.
Efek Cepat, Rasa Aman Kembali
Operasi Petrus menimbulkan shock effect luar biasa.
Studio tato gulung tikar. Banyak orang menghapus tato mereka dengan asam atau benda panas.
Preman melarikan diri. Banyak yang kabur ke desa-desa, bahkan ada yang sembunyi di hutan.
Warga lega. Di kota-kota besar, rasa aman perlahan kembali. Orang-orang merasa bebas berjalan malam tanpa takut dipalak.
Data resmi memang tidak pernah diumumkan, tetapi berbagai sumber menyebut antara 2.000 hingga 10.000 orang tewas dalam operasi ini antara 1982–1985.
Kasus Kentus, Bukti Bahwa Tak Ada Jaminan
Meski kebijakan ini efektif, kasus seperti Kentus dari Yogyakarta memperlihatkan sisi kerasnya. Kentus, preman kecil bertato, sempat mencari perlindungan ke LBH Jakarta. Bahkan ada jaminan tertulis dari Kodim bahwa ia tidak akan dieksekusi.
Namun, hanya seminggu kemudian, ia ditangkap kembali, dipulangkan ke Yogyakarta, lalu hilang tanpa jejak. Banyak yang percaya ia dieksekusi dan dikubur di kuburan massal.
Kasus ini mempertegas bahwa dalam operasi ini, tidak ada ruang tawar-menawar.
Pro dan Kontra di Masyarakat
Pendukung kebijakan ini berargumen:
Preman benar-benar membuat warga resah, dan hanya kekerasan negara yang bisa menghentikan mereka.
Petrus adalah “kejahatan untuk melawan kejahatan” demi menciptakan stabilitas.
Tanpa tindakan itu, kota-kota besar mungkin akan semakin kacau.
Penentang kebijakan ini mengingatkan:
Banyak korban yang sebenarnya bukan kriminal, hanya salah penampilan karena memiliki tato.
Eksekusi di luar hukum melanggar prinsip keadilan dan HAM.
Ada kasus salah sasaran, bahkan dendam pribadi atau bisnis yang dibungkus dengan label “preman.”
Namun, pada masa itu, suara pro lebih dominan, karena masyarakat merasakan efek nyata berupa penurunan kriminalitas.
Negara Diam, Media Bungkam
Selama operasi berlangsung, pemerintah tidak pernah mengakuinya secara resmi. Media hanya boleh memberitakan mayat-mayat itu sebagai korban “perkelahian antar preman.”
Kontrol pers yang ketat membuat publik tidak pernah benar-benar tahu jumlah korban. Hanya setelah Orde Baru tumbang, fakta-fakta mulai dikumpulkan oleh aktivis HAM dan lembaga independen.
Akhir Operasi dan Pengakuan Puluhan Tahun Kemudian
Sekitar tahun 1985, operasi ini mulai mereda. Premanisme menurun drastis, meski tidak hilang sepenuhnya. Jumlah korban tetap misterius.
Baru pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Petrus adalah bagian dari pelanggaran HAM berat. Namun hingga kini, tak satu pun pelaku atau komandan operasi diadili.
Stabilitas yang Dibeli dengan Nyawa
Operasi Petrus adalah paradoks Orde Baru.
Di satu sisi, ia menciptakan rasa aman yang nyata bagi masyarakat.
Di sisi lain, ia menyisakan luka HAM yang masih diperdebatkan hingga kini.
Sejarah mencatat: Petrus adalah bukti bahwa stabilitas bisa diraih dengan tangan besi, tetapi juga bahwa ketertiban yang lahir dari ketakutan bukanlah ketertiban sejati.
(Nang)