JAKARTA | Cyberpolri.id - November 2025, Fenomena meningkatnya penetapan tersangka terhadap debitur oleh perusahaan pembiayaan (leasing) dengan tuduhan penggelapan objek jaminan fidusia—berdasarkan Pasal 36 UU Fidusia dan/atau Pasal 372 KUHP—kini menjadi sorotan publik dan praktisi hukum. Banyak pihak menilai langkah tersebut berpotensi menimbulkan kesalahan penerapan hukum pidana dalam sektor pembiayaan konsumen.
Ketua DPC Pemalang Lembaga Perlindungan Konsumen Republik Indonesia (LPK-RI), Arden Suhadi C.PM, C.PFW, C.JKJ, C.MDF, menegaskan bahwa aparat penegak hukum kerap menetapkan debitur sebagai tersangka tanpa memenuhi syarat objektif. Menurutnya, penetapan tersangka harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, bukan semata-mata berlandaskan laporan sepihak dari perusahaan pembiayaan.
Arden mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa sah atau tidaknya penetapan tersangka, penahanan, dan penggeledahan dapat diuji melalui mekanisme praperadilan. Dengan demikian, setiap tindakan hukum yang dilakukan tanpa dasar bukti yang kuat dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi sekaligus kesalahan prosedural.
Akta Fidusia Cacat Formil, Tidak Dapat Dipidana
Arden menjelaskan bahwa penerapan Pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia hanya dapat dilakukan apabila terdapat perjanjian fidusia yang sah dan terdaftar. Jika akta fidusia dibuat tanpa kehadiran debitur—misalnya hanya berdasarkan surat kuasa bermuatan klausula baku—maka perjanjian tersebut cacat hukum dan tidak dapat dijadikan dasar pemidanaan.
Ia menegaskan bahwa hubungan antara debitur dan kreditur murni merupakan hubungan perdata, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1320 dan 1338 KUHPerdata. Oleh sebab itu, pengalihan atau penguasaan kendaraan yang masih dalam masa kredit merupakan wanprestasi, bukan tindak pidana penggelapan.
SE Kabareskrim: Sengketa Fidusia Bukan Ranah Pidana
Arden juga menyinggung Surat Edaran Kabareskrim Polri Nomor B/2110/VIII/2009, yang secara tegas menyatakan bahwa laporan perusahaan pembiayaan terhadap debitur yang mengalihkan unit tidak boleh diproses menggunakan pasal penggelapan atau pasal pidana lainnya. Penyelesaian kasus seharusnya dilakukan melalui jalur perdata atau mediasi konsumen.
Menurutnya, kriminalisasi terhadap debitur justru menciptakan ketidakpastian hukum dan keresahan di masyarakat.
“Jangan sampai hukum pidana dijadikan alat tekanan terhadap konsumen yang pada dasarnya beritikad baik,” tegas Arden.
Temuan LPK-RI: Cacat Formil dan Ketidaksesuaian Data
Dalam kajiannya, LPK-RI juga menemukan adanya dugaan cacat formil dalam pembuatan akta fidusia, di mana akta dibuat tanpa kehadiran debitur dan hanya berdasarkan surat kuasa baku. Praktik tersebut bertentangan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Selain itu, LPK-RI mendapati adanya ketidaksesuaian data terkait down payment antara kontrak pembiayaan dan jumlah uang muka yang sebenarnya dibayarkan oleh debitur. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak seluruh kesalahan dapat dibebankan kepada konsumen.
“Debitur pada dasarnya adalah konsumen yang beritikad baik. Mereka tidak layak diperlakukan sebagai pelaku kejahatan, terlebih jika dasar hukumnya sendiri cacat,” ujar Arden.
Imbauan kepada Perusahaan Pembiayaan
Arden meminta seluruh perusahaan pembiayaan untuk menghormati hak-hak konsumen dan menjunjung prinsip keadilan dalam proses pembiayaan. Ia juga mengingatkan agar masyarakat berhati-hati ketika mengajukan kredit.
“Pastikan perusahaan pembiayaan melakukan verifikasi secara benar serta menghadirkan debitur dalam pembuatan akta fidusia,” imbaunya.
Di akhir keterangannya, LPK-RI menegaskan komitmennya untuk terus mengawal perlindungan hukum bagi konsumen di sektor pembiayaan kendaraan bermotor. Arden berharap aparat penegak hukum lebih selektif dalam menangani laporan terkait pengalihan objek fidusia guna menghindari kriminalisasi terhadap masyarakat sipil.
Pimred Cyberpolri.id - ARDEN73

