PEMBANGUNAN TEMBOK BALUWARTI MEMILIKI YANG SAMA DENGAN TAMANSARI ARSITEK PORTUGIS



Cyberpolri.id - YOGYAKARTA:

Kota-kota kerajaan di pulau Jawa tidak dapat dipisahkan dari benteng.

Demikian juga kota-kota kerajaan pada masa Mataram Islam. 

Kamis (8/5/2025)


Semua ibukota kerajaan Mataram Islam mulai dari Kota Gedhe, Plered, Kartasura, Surakarta, hingga Yogyakarta memiliki tembok pertahanan yang mengelilingi keraton. Bahkan dalam bahasa sansekerta, kata kota memiliki makna yang sama dengan benteng.


Keraton Yogyakarta memiliki dua lapis tembok. Lapisan dalam berupa tembok cepuri yang mengelilingi kedhaton, atau kawasan keraton. 



Tembok berikutnya jauh lebih luas dan kuat, disebut dengan tembok Baluwarti, atau lebih sering disebut hanya sebagai Beteng. Selain kedhaton, tembok Baluwarti juga melingkupi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan pemukiman Abdi Dalem, area yang kini sering disebut sebagai kawasan Jeron Beteng.


Baluwarti memiliki kesamaan bunyi dengan kata baluarte dari Bahasa Portugis yang juga berarti benteng.


Persamaan ini membuat Denys Lombard, seorang peneliti sejarah Asia Tenggara, menyimpulkan bahwa kata Baluwarti memang merupakan kata serapan dari Bahasa Portugis. Hal ini masuk akal mengingat pembangunan tembok Baluwarti memiliki masa yang sama dengan pembangunan Tamansari yang dirancang oleh seorang arsitek berkebangsaan Portugis.


Tembok keliling tersebut didesain dan dibangun pada masa pemerintahan Sri sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), pendiri Kasultanan Yogyakarta. Bentuknya mirip persegi empat, namun lebih besar bagian timur. Benteng keraton dari timur ke barat memiliki panjang 1200 meter, sedang arah utara ke selatan 940 meter. 


Benteng di sisi timur keraton diperpanjang ke utara sejauh 200 meter, karena di sana terletak kediaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota. Tempat tinggal putra mahkota ini dikenal juga sebagai Istana Sawojajar.


Pada sisi luar benteng terdapat parit yang dalam dan jernih airnya. Parit itu disebut jagang, sisi luarnya diberi pagar bata setinggi satu meter. Pohon gayam ditanam sebagai peneduh di sepanjang jalan yang mengelilingi benteng.



Pada awalnya benteng ini dibuat dari jajaran dolog (gelondongan) kayu. 


Lalu diperkuat lagi hingga memiliki ketebalan dua batu (lebih kurang 55 cm) dengan longkangan selebar 2,4 meter yang diurug dengan tanah hasil galian jagang. Tinggi urugan 3,7 meter dari permukaan tanah awal. Longkangan tersebut digunakan sebagai pelataran benteng bagian dalam di mana prajurit dapat berjaga. 


Dari pelataran ini tinggi benteng dinaikkan lagi 1,5 meter. Sedang dinding benteng dibuat dari batu bata yang diplester dengan campuran pasir, gamping, dan tumpukan bata merah. (Red/Nang)

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama
SPONSOR