PERJANJIAN DAYAK DAN BANJAR

 


KALIMANTAN|Cyberpolri.idSUMPAH IKATAN PERSAUDARAAN BANJAR DAN DAYAK DENGAN ISTILAH SEBUTAN PANTI DARAH JANJI SEMAYA

Dahulu kala tidak ada istilah suku dayak

Istilah dayak baru muncul pada adanya jaman kolonial belanda, dimana penjajah menaklukkan kesultanan banjar, dan mengganti nama batang biaju besar (sungai kahayan) menjadi groote dajaks (dayak besar) dan batang biaju kecil (sungai kapuas) menjadi kleine dajak (dayak kecil) dan diperkuat pada ikrar tumbang anoi pada tahun 1894, dimana nama istilah dajak/dayak, dijadikan janji ikatan persatuan suku suku asli kalimantan, jadi istilah dayak itu bukan suku, tetapi suatu ikatan persatuan suku suku asli kalimantan kalimantan meliputi tiga negara, indonesia malaysia brunei darusalam yang selanjutnya disebut bangsa dayak, dahulu sebelum kesulatanan raja banjar  jaman kolonial belanda suku biaju/ngaju  saja atau orang  waktu raden antakesuma  anak dari sultan mustainbillah yg berdarah suku ngaju/biaju.Minggu (1/6/2025)

Jadi Batu Petahan Adalah batu pasif dengan tinggi 60 cm berbentuk persegi empat tak beraturan yang merupakan monumen perjanjian dua belah pihak, yaitu pihak Rombongan Pangeran Adipati dan pihak Suku Dayak Arut. Kedua belah pihak sepakat mengadakan perjanjian yang saling menghargai dan saling menjaga kehormatan. Perjanjian ini selanjutnya dinamakan "PANTI DARAH JANJI SAMAYA" yang berarti perjanjian yang di kokohkan dengan tetesan darah yang menjadi satu, dan konon di bawah batu tersebut dimakamkan 2 orang manusia yang mewakili 2 pihak yang mengadakan perjanjian.

Bermula ketika Pangeran Adipati Antakusuma meninggalkan Kerajaan Banjar dengan tujuan ke arah barat untuk mencari tempat dimana akan didirikan kerajaan baru. Dengan restu Ayahnda dan Ibunda, Pangeran Adipati beserta sejumlah pengawal dan beberapa perangkat kerajaan dengan perahu layar bertolak menuju kearah Barat.

Dalam perjalanan banyak tempat yang disinggahi, antara lain: Teluk Sebangau, Pagatan Mendawai, Sampit, Kuala Pembuang hingga akhirnya sampai ke Desa Pandau yang dihuni masyarakat suku Dayak Arut dibawah kepemimpinan Demang Petinggi, di Umpang.

Pangeran Adipati Antakusuma dapat diterima masyarakat dayak Arut untuk dijadikan raja dari rakyat Dayak dengan syarat; Raja tidak boleh memperlakukan rakyat dayak sebagai hamba, melainkan pembantu utama dan kawan dekat atau sebagai saudara yang baik. Rakyat tidak akan menyembah sujud ke hadapan Pangeran Adipati Antakusuma. Syarat itu diterima Pangeran Adipati, termasuk syarat agar dibuat perjanjian bermaterai darah manusia dari seorang suku Dayak dan seorang dari rombongan Pangeran Adipati. 

Sebelum dikorbankan, kedua orang yang mewakili masing-masing pihak, mengambil sebuah batu yang harus ditancapkan ke tanah sebagai bukti turun-temurun, saksi sepanjang masa, melalui upacara adat, batu itu sekarang terkenal dengan nama “BATU PETAHAN” di Pandau Kecamatan Arut Utara. Pada upacara adat, korban yang mewakili suku Dayak menghadap ke hulu asal datangnya, korban yang mewakili rombongan Pangeran Adipati menghadap ke hilir, mengibaratkan asal datangnya.

Upacara adat Sumpah Setia/perjanjian ini akhirnya dinamai “PANTI DARAH JANJI SEMAYA"


(Nang)

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama
SPONSOR