Legalitas dan Identitas Muhammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra


MANADO|Cyberpolri.id - Gempar Soekarnoputra, anak Bung Karno yang pernah jadi kondektur bemo dan jualan es di Manado

“Soekarno”dalam nama panjangnya jelas merujuk pada nama Presiden I Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Saat masih berkuasa, Sang Proklamator disebut jatuh hati dan menikahi ibunda Gempar, Jetje Langelo, di Manado.

Selasa (2/9/2025)

Namun asal-usul dan “darah biru” yang diwarisinya malah membuat jalan hidup Gempar penuh liku.

Pada Mei 1998, ketika iklim politik Indonesia memanas dan pemerintahan Soeharto memasuki senja, Jetje Langelo (dibaca: Yece) melihat sesosok wajah yang amat dikenalnya di antara para demonstran yang menduduki Gedung DPR/MPR.

Charles Christofel, salah satu putranya, terlihat di antara lautan massa mahasiswa berjaket kuning yang tengah meminta Soeharto turun takhta. Ketika itu Charles adalah mahasiswa Fakultas Hukum Program Ekstensi Universitas Indonesia.

Fenomena itu membuat Jetje gundah. Putranya itu dipanggil pulang ke Manado. Tapi karena beragai kesibukan pekerjaan, Charles baru muncul Desember 1999, sekalian merayakan Natal.

Charles tidak pernah menyangka, apa yang kemudian terjadi di rumah ternyata mengubah jalan hidupnya. Di dinding rumah Jetje telah terpasang foto-foto ibunya semasa muda yang tampak berdiri akrab dengan seorang pria yang dikenalnya sebagai Ir. Soekarno.

"Kamu adalah anak Soekarno." Begitu kata-kata Jetje yang terasa bagai petir di telinga Charles. Ibundanya yang dipanggil mami, juga menerangkan bahwa ini sengaja dirahasiakan, lebih dari 40 tahun, tak lain karena amanat Soekarno sendiri yang menginginkan anaknya diamankan, jika sewaktu-waktu kekuasaannya jatuh.

Apalagi pada awal-awal pemerintahan Orde Baru, kata Jetje, ada operasi militer yang hendak menumpas sisa-sisa rezim Orde Lama. la takut terjadi sesuatu pada dirinya dan Gempar.

Bukan sekadar ucapan, Jetje juga mengeluarkan sejumlah dokumen yang selama ini disembunyikan. Antara lain berupa foto, surat-surat, tongkat komando, keris, serta amanat yang ditulis oleh tangan Soekarno sendiri.

Dalam amanat tertulis permintaan agar anak yang lahir pada 13 Januari 1958 itu, kelak pada saatnya ia sudah dewasa berpolitik, dinamai: Muhammad Fatahillah Gempar Soekarno Putra.

"Kutitipkan bangsa dan negara kepadanya!"

Kenyataan ini memang tidak serta-merta mengubah hidup Charles yang kemudian menyandang nama baru: Gempar Soekarno Putra. Dia tetap seorang pengusaha yang juga berprofesi sebagai konsultan hukum di Jakarta.

Namun ada niatannya untuk lebih mengenal ayah biologis yang tidak pernah diingatnya itu. Langkah awalnya mengunjungi makam Soekarno di Blitar.

Lalu dengan penuh kesadaran, di sebuah masjid di kawasan pemakaman raja-raja Jawa, di Imogiri, dia memeluk agama Islam. Dengan identitas dan legalitas baru, Gempar melanjutkan hidupnya yang saat itu sudah tergolong mapan.

Pekerjaan dan karier cerah, materi cukup, serta sudah berkeluarga dengan seorang istri (Jeane Augusta Lengkong) dan seorang putra (Yohanes Yoso Nicodemus).

Segala pencapaian ini terus disyukurinya mengingat jalan hidupnya yang penuh onak dan duri. Pada usia SD, Gempar sudah dititipkan di rumah kakak dari suami pertama Jetje.

Meski ikut family ternyata ia tidak diperlakukan sebagai anak biasa dan harus bekerja keras hingga mirip seperti pembantu. Perlakuan keluarga itu, menurut Gempar, juga sangat menyakitkan. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia harus berjualan es.

Pada usia belasan, ia juga pernah menjadi kondektur bemo. Tapi sekolahnya tidak pernah berhenti, hingga tamat dari SMA Negeri 1 pada 1977 dengan prestasi lima besar.

Beberapa bulan setelah tamat sekolah, Gempar merantau ke Jakarta dan tinggal dengan keluarga pihak ibunya. Namun dia maklum, jika perlakuan keluarga-keluarga itu juga tidak ramah kepadanya.

Dia sering diperlakukan kasar sehingga harus terusir dan berpindah-pindah rumah. Bahkan pernah ikut di rumah seorang pedagang buah di daerah Gandaria, Jakarta Selatan.

Hidup Gempar baru benar-benar mapan setelah bekerja sebagai tukang ketik di kantor notaris Frederik Alexander Tumbuan, masih di sekitar daerah Gandaria.

Dia juga bisa berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Berbekal dari pekerjaan dan kuliahnya, pekerjaan yang digelutinya kemudian lebih banyak terkait dengan hukum atau di perusahaan biasa disebut bagian legal.

Dia juga menjadi konsultan hukum di beberapa perusahaan elektronik seperti Hitachi, Toshiba, ITT, Grundig, serta beberapa bank. Dari pekerjaan itu perlahanlahan kehidupannya mulai mapan, setelah memiliki beberapa bidang tanah dan kendaraan di Jakarta.


(Nang)

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama