Ombudsman RI Bongkar Kualitas Buruk Program Makan Bergizi Gratis, 17 Kasus Keracunan Terjadi

SURABAYA | Cyberpolri.id - Ombudsman RI mengungkap temuan mengejutkan soal program Makan Bergizi Gratis (MBG). Meski negara membayar dengan harga premium, kualitas makanan yang diterima anak-anak justru jauh dari harapan.

Dari bahan pangan yang tak sesuai kontrak, proses pengolahan tanpa standar, hingga distribusi yang semrawut, semuanya menimbulkan tanda tanya besar soal tata kelola program ini.

Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyebut sejumlah dapur umum atau Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) menerima sayuran tidak segar dan lauk-pauk yang tidak lengkap.

Hal itu terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit (AQL) yang tegas, sehingga kualitas pangan yang sampai ke meja makan siswa tidak sepadan dengan nilai anggaran yang dikeluarkan negara.

“Beberapa dapur juga menerima sayuran yang tidak segar setelah lauk pauk yang tidak lengkap. Hal ini terjadi karena belum adanya standar acceptance quality limit yang tegas, sehingga negara membayar dengan harga premium, sementara kualitas yang diterima anak-anak belum optimal,” ujar Yeka Selasa (30/9/2025).

Di tahap pengolahan, standar hazard analysis and critical control point (HACCP) juga belum diterapkan secara konsisten. Beberapa SPPG bahkan tidak menyimpan catatan suhu maupun retained sample sebagai syarat sistem pengendalian mutu.

Kelemahan ini semakin jelas ketika Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang semestinya melakukan 13 item pengawasan, dinilai belum maksimal. Hasilnya, 17 kasus keracunan luar biasa terjadi hingga agustus-september 2025.

“Fakta adanya 17 kejadian luar biasa keracunan hingga Mei 2025 menjadi pengingat bahwa prosedur operasional standar pengolahan harus diperbaiki dan ditegakkan secara lebih disiplin,” paparnya.

Pada tahap persiapan bahan, masih ditemukan ketidaksesuaian antara kontrak dan realisasi di lapangan. Di Bogor, Jawa Barat, misalnya SPPG menerima beras medium dengan kadar patah di atas 15 persen meskipun kontrak mencantumkan beras premium.

Di sisi distribusi, masalah tak kalah serius muncul. Standard holding time empat jam yang seharusnya menjamin keamanan pangan sering dilanggar. Bahkan di ngawi korban keracunan , distribusi makanan sempat terhenti selama dua minggu tanpa pemberitahuan memadai, membuat sekolah kebingungan.

Ironisnya, guru kembali dipaksa menjadi ujung tombak distribusi meski tidak mendapatkan tambahan dukungan.

“Guru kembali menjadi tumpuan distribusi, meskipun mereka tidak mendapatkan dukungan tambahan yang semestinya. Situasi ini mencerminkan perlunya penataan tata kelola distribusi agar lebih setara, transparan, dan berpihak pada penerima manfaat,” ucap Yeka.

Ombudsman juga menyoroti lemahnya pengawasan digital. Dashboard Badan Gizi Nasional (BGN) belum bisa menampilkan data mutu, bahan, jadwal distribusi, hingga insiden keracunan secara real time.

Sementara skema ad cost yang belum memiliki petunjuk teknis (juknis) rinci membuka celah ketidakpastian dalam penggunaan anggaran.


(Nang)

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama