Gelombang Korupsi Dana Desa Menggila, 489 Kepala Desa Dijerat: Kejagung Mengaku Kewalahan..!

JAKARTA | Cyberpolri.id —Senin (24/11/2025) Awal 2025 menjadi babak kelam pengelolaan dana desa di Indonesia. 

Kejaksaan Agung mencatat lonjakan drastis kasus korupsi yang menyeret para kepala desa, dengan total 489 kades terlibat penyalahgunaan anggaran yang seharusnya dipakai untuk membangun fasilitas publik.

Data ini menunjukkan peningkatan signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, menandakan bahwa persoalan tersebut bukan lagi sekadar pelanggaran individu, melainkan masalah sistemik yang merambah desa-desa di berbagai penjuru tanah air.

Modus Korupsi Makin Kreatif

Kasus yang ditangani tidak hanya berasal dari wilayah perkotaan atau daerah padat penduduk. Desa-desa terpencil pun ikut terseret. Modus korupsinya pun beragam, mulai dari:

penggunaan dana desa untuk judi online,

pengadaan barang fiktif,

proyek pembangunan yang tidak pernah dikerjakan,

hingga pemalsuan laporan pertanggungjawaban.

Beberapa kasus bahkan menunjukkan pola kerja terorganisir yang melibatkan perangkat desa lain.

Kejagung: SDM Terbatas, Medan Tempat Sulit Dijangkau

Kejaksaan Agung mengakui kewalahan menghadapi gelombang kasus yang terus masuk. Selain keterbatasan sumber daya manusia, faktor geografis menjadi tantangan tersendiri dalam proses pengawasan maupun penyidikan.

“Kasus meningkat, sedangkan jumlah jaksa dan penyidik di lapangan tidak sebanding,” ujar salah satu pejabat Kejagung.

Masyarakat Mulai Meragukan Efektivitas Pengawasan

Lonjakan kasus ini membuat masyarakat mempertanyakan sejauh mana mekanisme pengawasan dana desa selama ini berjalan. Pertanyaan besar pun muncul: apakah hukuman bagi kades korup akan cukup memberi efek jera? Ataukah dana desa akan terus “menghilang” tanpa jejak?

Pemerintah mendorong warga desa lebih aktif mengawasi anggaran, memanfaatkan platform transparansi daring, serta melakukan kontrol sosial agar dana desa benar-benar digunakan untuk kepentingan bersama.

“Partisipasi Jurnalis dan civil Society adalah kunci. Tanpa itu, oknum akan terus mencari celah, jelas seorang pengamat kebijakan publik.(Nang)

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama