YOGYAKARTA | Cyberpolri.id - Pagi itu, 27 Mei 2006. Langit masih gelap, mentari belum tinggi. Waktu menunjukkan pukul 05.53 WIB. Dalam sekejap, bumi berguncang hebat. Dalam 57 detik yang terasa seperti keabadian, kehidupan berubah selamanya bagi jutaan orang di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Gempa berkekuatan Magnitudo 6.3 itu memporakporandakan rumah, sekolah, tempat ibadah, tempat orang tertawa, mencinta, dan bermimpi. Bangunan yang tak mampu menahan amarah bumi runtuh satu per satu, menimbun harapan dan nyawa di bawah puing-puing.
Tangisan, jeritan, dan debu memenuhi udara. Saat guncangan reda, muncul kenyataan yang tak terelakkan: lebih dari 6.652 jiwa meninggal dunia. 5.338 orang dari Yogyakarta, 1.314 dari Jawa Tengah. Banyak dari mereka yang meregang nyawa dalam tidur, tak sempat lari, tak sempat pamit.
Yang tersisa hanyalah keheningan... dan duka yang mengendap.
Kenapa Bisa Sebanyak Itu?
Mayoritas rumah yang hancur dibangun tanpa memperhitungkan kekuatan gempa. Ketidaksiapan itu membuat korban berjatuhan begitu banyak. Gempa ini pun tercatat sebagai gempa paling mematikan kedua di Indonesia, setelah Gempa dan Tsunami Aceh 2004.
Apa Penyebabnya?
Gempa ini disebabkan oleh aktivitas Sesar Opak, patahan aktif sepanjang 45 km yang membentang dari Klaten (Jawa Tengah) hingga laut selatan Bantul (DIY). Patahan ini meretakkan bumi, menorehkan luka di Bantul, Sleman, Klaten—wilayah yang takkan pernah melupakan hari itu.
Bisakah Itu Terulang Lagi?
Jawabannya: bisa.
Sesar bumi tidak pernah tidur. Ia hanya diam, mengumpulkan energi, menunggu waktu untuk kembali melepaskannya.
Studi oleh Hilmiyati Ulinnuha dkk (2022) memperkirakan bahwa gempa di wilayah Sesar Opak bisa mencapai M6.5, dengan siklus ulang ±60 tahun di segmen utara (Klaten–Sleman) dan ±130 tahun di segmen selatan (Bantul). Gempa tahun 2006 terjadi akibat pergerakan segmen selatan. Jika pola ini berulang, gempa serupa bisa datang kembali sekitar tahun 2136.
Masih lama? Ya. Tapi jangan terlena. Gempa tak kenal kalender.
Kita Tak Bisa Memprediksi, Tapi Bisa Bersiap
Teknologi belum mampu memberi tahu kita kapan gempa akan datang. Tapi sejarah memberi kita pelajaran: bersiaplah.
Mitigasi bukan pilihan, melainkan kebutuhan.
Ingat, bencana tidak membunuh kelalaian kitalah yang seringkali membawa maut.
Mari belajar dari masa lalu, bukan untuk ditakuti, tapi untuk disadari. Agar ketika bumi kembali berguncang, kita tidak lagi lengah. Kita siap. Kita selamat. (Aj.)
Referensi:
Estimasi Potensi Gempa Tektonik di Wilayah Sesar Opak Berdasarkan Data Pengamatan GPS
BPBD DIY