Mafia Tanah Merajalela dan Puncak SHM yang Tak Lagi Berharga

Nanang Kaperwil Jatim


Cyberpolri.id- SURABAYA:

Sistem hukum agraria Indonesia, Sertifikat Hak Milik (SHM) semestinya merupakan puncak tertinggi dari bukti kepemilikan yang sah atas tanah.

Kamis (8/5/2025)


Sertifikat ini tak hanya diakui oleh hukum, tapi juga dihormati dalam transaksi keuangan, dijadikan jaminan di lembaga keuangan, serta menjadi simbol kepastian hukum atas hak atas tanah seseorang.


Dalam beberapa tahun terakhir, nilai dan kehormatan itu terkikis perlahan.


Dalam sejumlah kasus, sertifikat tidak lagi menjadi surat berharga ketika negara memilih diam, atau bahkan terkesan abai, dalam menghadapi keberingasan mafia tanah. 



Kasus-kasus perampasan tanah dengan aktor-aktor bersenjata hukum kian marak. Modusnya makin canggih: mulai dari pemalsuan dokumen, manipulasi data dalam sistem elektronik pertanahan, hingga kolusi dengan oknum aparat dan pejabat.


Tidak jarang pemilik tanah yang sah, bahkan dengan SHM di tangan, tiba-tiba menerima somasi dari pihak lain yang mengaku pemilik sah berdasarkan sertifikat baru.


Lebih parah, mendapati tanahnya telah dikuasai oleh pihak ketiga yang diduga memiliki koneksi kuat dengan elite tertentu. 


Pasal 33 UUD 1945 telah menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 


Dalam konteks pertanahan, hal ini berarti negara memiliki kewajiban untuk menjamin kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah setiap warga negara.



Namun, apa jadinya jika justru negara tampak pasif, atau bahkan permisif, terhadap praktik-praktik mafia tanah? 


Diamnya negara bukan semata-mata berarti tidak berbuat, tetapi juga berarti mengingkari tanggung jawab konstitusional. 


Ketika korban mafia tanah harus berjuang sendiri di pengadilan dengan proses panjang, mahal, dan tidak pasti, maka negara sebenarnya telah mencuci tangan atas kewajiban dasar untuk memberikan perlindungan hukum. 


Lebih ironis lagi, seringkali mafia tanah mampu memperoleh akses terhadap sistem administrasi pertanahan negara. Bahkan memunculkan sertifikat ganda, dengan cara-cara yang seharusnya tidak mungkin terjadi dalam sistem yang diklaim sudah berbasis digital. 


Sudah menjadi rahasia umum bahwa praktik mafia tanah tidak akan tumbuh subur tanpa keterlibatan oknum aparat.


Dalam banyak kasus, pihak-pihak yang terlibat bukan hanya mafia sipil, tetapi juga oknum dari institusi penegak hukum, pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN), notaris, bahkan pejabat pemerintahan daerah.


Hukum yang seharusnya menjadi pelindung warga malah menjadi alat represi kedua kalinya bagi korban. Sudah jatuh, tertimpa palu pengadilan. 


Ketiadaan tindakan tegas dan sistemik terhadap para pelaku, menjadikan kejahatan pertanahan sebagai kejahatan yang menguntungkan. 


Rendahnya tingkat penuntutan terhadap mafia tanah menciptakan efek domino: warga tidak percaya lagi bahwa hukum akan melindungi mereka, dan para pelaku semakin berani mengulangi perbuatannya. 


Di titik ini, kita harus bertanya : untuk siapa sebenarnya hukum pertanahan diciptakan?


Dalam teori hukum agraria klasik, sertifikat tanah adalah alat pembuktian yang "prima facie", artinya sah dan diakui hingga dibuktikan sebaliknya. 


Di lapangan, banyak pemilik sertifikat yang justru menjadi pihak yang harus membuktikan bahwa tanahnya bukan hasil kejahatan, seolah bersalah hingga terbukti tidak bersalah. 


Beban pembuktian yang timpang ini mencerminkan ketidakadilan sistemik yang menghantui sektor pertanahan Indonesia. Lebih tragis lagi, perbankan mulai menunjukkan sikap hati-hati terhadap sertifikat tertentu karena kerap kali terlibat sengketa hukum. Artinya, SHM sebagai surat berharga mulai kehilangan daya tawar dalam sistem ekonomi. 


Jika tren ini terus dibiarkan, kita sedang menuju kehancuran asas kepastian hukum dalam hukum agraria. 


Negara tidak bisa lagi sekadar mengumumkan program sertifikasi massal, membanggakan digitalisasi layanan pertanahan, atau menampilkan slogan-slogan populis tentang “berantas mafia tanah.” 


Perlu sejumlah langkah nyata dan konsisten. Pertama, audit menyeluruh atas penerbitan sertifikat yang rawan konflik.


Kedua, penguatan integritas SDM di BPN dan lembaga terkait. Ketiga, mekanisme pengaduan dan penanganan cepat terhadap konflik pertanahan. Keempat, penegakan hukum tegas terhadap pelaku mafia tanah, termasuk aktor negara yang terlibat.


Di atas semua itu, negara perlu menunjukkan keberpihakan kepada korban, bukan kepada kepentingan modal atau jaringan kekuasaan yang menjadikan tanah sebagai alat akumulasi kekayaan dan kekuasaan. 


Kepemilikan tanah bukan sekadar persoalan agraria, tetapi persoalan keadilan sosial, hak asasi manusia, dan martabat warga negara. Sertifikat Hak Milik harus kembali menjadi simbol tertinggi perlindungan hukum atas tanah. 


Untuk itu, negara tidak boleh lagi berdiri di pinggir lapangan sambil berpura-pura tidak tahu arah pertandingan. Bila negara terus memilih diam, maka bukan hanya tanah yang dirampas, tetapi juga masa depan hukum dan kepercayaan rakyat terhadap negara. 


Jika sertifikat sudah tak lagi bisa menjamin rasa aman, maka kita harus bertanya rame -rame  : apakah negara ini masih bisa menjamin hak-hak dasar rakyatnya.(Red/Nang)

SPONSOR
Lebih baru Lebih lama
SPONSOR