Haris Azhar Beberkan Temuan 18 Juta Ton Emas di Papua Diduga Dikuasai Pejabat Tinggi Jakarta



JAKARTA | Cyberpolri.id - Aktivis HAM sekaligus pendiri Lokataru, Haris Azhar, kembali mengguncang publik lewat pernyataan tajamnya  bersama pakar hukum tata negara, Refly Harun. Dalam wawancara berdurasi hampir dua jam itu, Haris mengungkap hasil investigasinya di Intan Jaya, Papua, yang menunjukkan adanya temuan cadangan emas sebesar 8,1 juta ton di satu lokasi, dan totalnya disebut bisa mencapai 18 juta ton—dengan indikasi keterlibatan aktor-aktor elit dari Jakarta.Selasa (10/6/2025)

“Data profesional menyebut di satu gunung besar Intan Jaya, yang merupakan bagian dari urat emas Pegunungan Tengah, terdapat 8,1 juta ton emas,” ungkap Haris. Ia mengklaim telah melakukan verifikasi terhadap sejumlah pejabat di Papua yang menyebutkan bahwa pengelolaan emas itu berada dalam kendali “pejabat tinggi Jakarta”.

Meski tak menyebut nama secara langsung, Haris memberi isyarat keras bahwa proyek-proyek eksploitasi di Papua kini bukan lagi sepenuhnya dikelola oleh negara, melainkan telah dikuasai pihak swasta dan elite tertentu yang memanfaatkan kebijakan seperti Undang-Undang Cipta Kerja. “Cipta Kerja itu sudah selesai di atas kertas. Tapi bagi masyarakat Papua, mereka hanya ditinggalkan dan dipinggirkan,” tegasnya.

Lebih lanjut, Haris menyoroti dampak sosial dari proyek pembangunan yang selama ini tidak melibatkan masyarakat adat Papua. “Mereka yang hidup secara adat di hutan, justru terusir karena proyek sawit dan tambang. Mereka bukan anti-modern, tapi punya cara hidup sendiri yang bahagia dan mandiri,” ujarnya.

Ia juga mengkritik keras narasi dominan pemerintah pusat yang memaksakan definisi kemajuan sebagai pembangunan infrastruktur. “Jalan, jembatan, mall—semua itu tidak relevan untuk ukuran kebahagiaan orang Papua yang hanya ingin kebun, babi, dan ubi,” tutur Haris sambil mengutip lagu Slank, Lembah Baliem.

Dalam kesempatan yang sama, Haris menyampaikan bahwa trauma terhadap aparat militer masih sangat kuat di kalangan warga Papua. Ia menyinggung kasus terbunuhnya pendeta Yeremias Zanambani, seorang tokoh intelektual lokal yang selama ini aktif membela hak-hak rakyat Papua. “Dia tahu soal tanah, bahasa, Injil, dan menjadi ancaman karena ia bersuara. Padahal dia hanya ingin tahu di mana cucunya yang hilang,” kata Haris.

Refly Harun menimpali bahwa dugaan konflik kepentingan antara kekuasaan dan pemodal dalam penguasaan Papua bukanlah hal baru. Namun, Haris menambahkan bahwa akar konflik Papua sebenarnya sudah dipetakan oleh LIPI dan Jaringan Damai Papua (JDP), tetapi temuan ilmiah itu tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah. “Karya intelektual JDP sia-sia karena tidak di-follow up. Padahal itu bisa jadi titik awal penyelesaian konflik Papua,” tandasnya.

Terakhir, Haris juga mengkritisi orkestrasi pembusukan terhadap tokoh-tokoh seperti Benny Wenda dan Veronica Koman. Menurutnya, penyebaran narasi provokatif hanya memperkeruh konflik tanpa menyentuh akar masalah seperti rasisme, penggusuran tanah adat, dan ketimpangan pembangunan.


(Nang/Tim)


SPONSOR
Lebih baru Lebih lama
SPONSOR