JAKARTA | Cyberpolri.id - Yang Terhormat,Bapak Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Dengan segala hormat dan cinta pada tanah air,Izinkan saya, seorang rakyat biasa–seorang pemilih Bapak dalam Pemilu lalu–menyampaikan suara hati yang gelisah. Surat ini adalah slaah satu wujud dukungan saya: bukan dengan puja-puji, glorifikasi, atau menjilat–tapi dengan keberanian memberi masukan dan kritik. Karena dalam demokrasi, loyalitas tak identik dengan mulut yang diam membisu.
Bapak Presiden yang saya hormati,
Saya percaya Bapak bukan hanya pemimpin yang tegas, tapi juga pendengar yang baik. Senin (7/7/2025)
Maka hari ini saya mengetuk pintu hati Presiden untuk memohon satu hal: perhatikanlah kembali beberapa pembantu Bapak yang tindak-tanduknya semakin terasa seperti angin dingin yang menusuk rasa keadilan rakyat.
Saya menyebut dua saja, karena dua ini cukup menggambarkan kekhawatiran banyak orang.
Pertama, Menteri Kebudayaan–yang terus bersikukuh mempertanyakan istilah “perkosaan massal” dalam tragedi Mei 1998. Ketika sebagian dari bangsa ini masih merawat luka yang tak sempat sembuh, seorang menteri justru sibuk pada semantik, seolah penderitaan itu sah untuk dinegosiasikan. Bahkan ketika seorang anggota DPR perempuan menangis di sidang, menteri itu tetap bergeming. Apakah air mata tidak cukup sebagai kesaksian? Apakah penderitaan harus berlabel untuk diakui?
Kedua, KemenHAM yang justru tampak memihak para pelaku intoleransi–pasang badan untuk menangguhkan penahanan terhadap tersangka perusakan dan persekusi di vila retret Cidahu. Ketika aparat menegakkan hukum, Kementerian HAM –justru membentangkan tangan perlindungan bagi mereka yang telah merusak damai. Padahal yang dibutuhkan masyarakat bukan belas kasihan untuk pelaku, tapi keberanian untuk berdiri bersama korban.
Bapak Presiden,
Saya tahu Bapak mencintai bangsa ini. Bahkan kata Gus Dur, Bapak adalah orang yang paling tulus untuk negeri ini.
Maka izinkan saya mengingatkan: jangankan (sejumlah) minoritas, bahkan satu orang rakyat pun wajib dipedulikan. Kita tidak menakar kepedulian berdasarkan jumlah, tetapi berdasarkan nurani.
Banyak dari kami memilih Bapak karena percaya: Bapak akan menjadi pemimpin yang memulihkan, bukan membiarkan luka semakin dalam. Maka kami menaruh harapan: jangan biarkan pembantu Bapak mencederai martabat kepemimpinan Bapak sendiri.
Hanya Bapak yang bisa menegur, bahkan memecat mereka. Karena bagi seorang menteri, kata seorang presiden lebih nyaring dari jeritan rakyat. Bahkan lebih keras dari isak tangis seorang perempuan yang membawa suara ribuan yang bisu.
Saya menulis ini bukan karena benci, tapi karena saya masih punya harapan. Dan karena saya tahu, ketika nurani tak lagi bersuara, maka demokrasi menjadi sunyi–dan pemimpin pun berjalan sendirian.
Dengan hormat dan doa yang tulus untuk Bapak dalam memimpin Republik ini.
a/n.Herry Tjahjono
(Nang)